Jika seseorang bertanya “apa aku baik saja selepas desember lalu?”, tentu mereka yang tak mengenalku jelas akan bilang, “ya dia terlihat baik saja, bahkan dia menghabiskan banyak waktunya untuk keluar rumah hingga larut malam”. Ya, hal-hal itu yang pasti akan kau dengar. Aku berusaha membuatnya begitu baik-baik saja, hingga enam bulan berikutnya aku benar-benar runtuh.
Aku masih bisa menyesap kopiku dengan nikmat, menikmati waktuku sendiri berburu senja dan membidiknya dengan kamera, mengakhirinya dengan segelas es krim di mcd dan dua bungkus kentang goreng atau bahkan menyalurkan hasrat membeli sepatu hingga kalap, ya aku melakukan semua hal yang aku sukai sepanjang enam bulan itu.
Hingga akhirnya, seseorang mengingatkanku untuk jangan terlalu berusaha bahagia, jangan berusaha terus baik saja, jangan selalu tersenyum jika ingin menangis, jangan semunafik itu. Semakin kamu menekan perasaan jauh kedalam, ke dasar, ke tempat yang kau piker tidak akan ditemukan oleh orang lain, sebodoh itulah kamu, iya bodoh, karena semua yang ditekankan pada akhirnya akan dimuntahkan kembali ke atas dan akan lebih pedih, lebih sakit.
Walaupun sedari awal sudah kukatakan aku tidak pernah berusaha move on dari mantan-mantan pacarku termasuk dari kamu yang pergi tanpa kejelasan. Kenapa? Ya karena bagiku move on adalah hal yang melelahkan dan bisa saja sia-sia, jadi seberapa malam pun aku sukar tidur dan menumpahkan risau itu di maya, aku membiarkannya, membiarkan orang menerka, mengira dan selalu menganggap aku galau, ya tapi itu aku dan pilihanku.
Steven (teman dekat atau sebutlah dia bosku untuk riset2 pasar di asia) pernah bilang “dia tidak begitu baik untukmu, sebab jika dia baik pasti tidak akan hilang tanpa kabar, tapi kau terlalu mencintainya, hatimu sukar kau berikan pada yang lain termasuk aku yang bahkan hari ini ada di negaramu menunggu waktumu untuk bertemu denganku, but I know kau tidak akan salah memilih. Tunggulah jika dia pantas untuk ditunggu”.
Hingga hari ini, berusaha menghubungi, merecokimu dengan pesan suara di setiap malam karena lagi maya sudah tak berguna untuk meraihmu, dan bodohnya aku masih berusaha. Entah seberapa lama lagi, tapi semoga takkan lama lagi, entah aku yang menyerah untuk berusaha atau kau yang menyerah dan kembali (harapan yang mustahil).
Aku gamang karena aku sendiri tak paham. Aku bekerja, mengubur mimpi-mimpiku sendiri karena mimpi-mimpi kita dan akhirnya aku harus berusaha lagi sendiri demi mimpi-mimpiku itu, menjejaki puncak, kamera baru, jerman dan tumpukan buku-buku itu. Semoga saja, kita bertemu di saat kita semua sudah baik. Entah kapan, tapi aku harap secepatnya.
Manado, 27 Juli 2018
Aku masih bisa menyesap kopiku dengan nikmat, menikmati waktuku sendiri berburu senja dan membidiknya dengan kamera, mengakhirinya dengan segelas es krim di mcd dan dua bungkus kentang goreng atau bahkan menyalurkan hasrat membeli sepatu hingga kalap, ya aku melakukan semua hal yang aku sukai sepanjang enam bulan itu.
Hingga akhirnya, seseorang mengingatkanku untuk jangan terlalu berusaha bahagia, jangan berusaha terus baik saja, jangan selalu tersenyum jika ingin menangis, jangan semunafik itu. Semakin kamu menekan perasaan jauh kedalam, ke dasar, ke tempat yang kau piker tidak akan ditemukan oleh orang lain, sebodoh itulah kamu, iya bodoh, karena semua yang ditekankan pada akhirnya akan dimuntahkan kembali ke atas dan akan lebih pedih, lebih sakit.
Walaupun sedari awal sudah kukatakan aku tidak pernah berusaha move on dari mantan-mantan pacarku termasuk dari kamu yang pergi tanpa kejelasan. Kenapa? Ya karena bagiku move on adalah hal yang melelahkan dan bisa saja sia-sia, jadi seberapa malam pun aku sukar tidur dan menumpahkan risau itu di maya, aku membiarkannya, membiarkan orang menerka, mengira dan selalu menganggap aku galau, ya tapi itu aku dan pilihanku.
Steven (teman dekat atau sebutlah dia bosku untuk riset2 pasar di asia) pernah bilang “dia tidak begitu baik untukmu, sebab jika dia baik pasti tidak akan hilang tanpa kabar, tapi kau terlalu mencintainya, hatimu sukar kau berikan pada yang lain termasuk aku yang bahkan hari ini ada di negaramu menunggu waktumu untuk bertemu denganku, but I know kau tidak akan salah memilih. Tunggulah jika dia pantas untuk ditunggu”.
Hingga hari ini, berusaha menghubungi, merecokimu dengan pesan suara di setiap malam karena lagi maya sudah tak berguna untuk meraihmu, dan bodohnya aku masih berusaha. Entah seberapa lama lagi, tapi semoga takkan lama lagi, entah aku yang menyerah untuk berusaha atau kau yang menyerah dan kembali (harapan yang mustahil).
Aku gamang karena aku sendiri tak paham. Aku bekerja, mengubur mimpi-mimpiku sendiri karena mimpi-mimpi kita dan akhirnya aku harus berusaha lagi sendiri demi mimpi-mimpiku itu, menjejaki puncak, kamera baru, jerman dan tumpukan buku-buku itu. Semoga saja, kita bertemu di saat kita semua sudah baik. Entah kapan, tapi aku harap secepatnya.
Manado, 27 Juli 2018